Sabtu, Maret 21, 2009

Resensi: I’tiqadat firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin Karya : Fakhruddin Muhammad ibn Umar al-Khatib al-Razi

Oleh: Arif Syibromalizi, Lc.

I. Pendahuluan
Tidak dipungkiri kontribusi Imam Fakhruddin al-Razi yang begitu besar dalam perkembangan pemikiran Islam. Beliau tidak hanya seorang ahli dalam ilmu kalam, akan tetapi juga seorang yang mumpuni di berbagai bidang seperti ushul fiqih, tafsir dan ilmu-ilmu lain. Tak heran jika beliau diberi julukan Imam al-Kabir dan Syaikh al-Islam, dikarenakan keluasan ilmunya. Menjadi bukti dari ketenaran dan kehebatan beliau adalah banyaknya para ulama yang ingin berguru dan mendatangi madrasahnya di Khawarizm. Sampai-sampai sebagian ulama ada yang berkata dalam sebuah bait syair: ”Sungguh Allah telah memberi keistimewaan dengan ra’yu nya, dan ia dapat mengetahui keghaiban # sehingga ia dapat melihat kebenaran dengan matanya.

II. Siapakan Imam al-Razi?
Di sebuah daerah bernama Al-Razi, bertepatan dengan 25 Ramadlan 544 H/ 1149 M, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Abu Abdullah Muhammad ibn al Husain ibn al Hasan ibn Ali al Naymi al Bakri al Qirsyi al Thabrastani. Ketika dewasa ia diberi julukan Fakhruddin atau yang dikenal dengan Ibn al Khathib atau Ibn Khathib al Ray (anak seorang khathib). Julukan ini diberikan karena ayahnya adalah seorang khathib masa itu. Imam Fakhruddin al Razi ini seorang ahli fiqih mazhab Syafii, penganut teologi Asy’ariah dan terkenal sebagai Imam di kalangan ulama ushul fiqih. Selain itu beliau juga menjadi pionir ilmu-ilmu akal dan teks, khususnya dalam bidang ushul fiqih, ushuluddin serta ma’qulat (rasional).
Kemauannya untuk menimba ilmu tidak lepas dari peran sang ayah, yang kala itu sebagai seorang khathib sampai meninggalnya. Dalam cabang ilmu furu’ al Madzhab al Razi mendapatkan ilmu dari ayahnya yang berguru pada Abi Muhammad al Husain ibn Mas’ud al Farra al Baghawi dan seterusnya sampai bertemu sanadnya dengan Imam Syafii RA. Setelah ayahnya wafat, beliau berguru kepada al Kamal al Simnani, juga kepada Ali al Majd al Jiili, sahabat Muhammad ibn Yahya, salah seorang murid Imam Ghazali.
Pada hari senin bertepatan dengan hari raya Idul Fitri tahun 606 H/ 1209 M, di kota Hirah, Al Razi menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau dikuburkan sore harinya di sebuah bukit yang berada di kampung Mazdakhan.

III. Karya-karya Al Razi.
Seperti telah disinggung diatas, Imam Fakhruddin al Razi tidak hanya ahli dalam satu bidang keilmuan. Berbagai cabang ilmu beliau kuasai, seperti tafsir, ushul fiqih, kalam, filsafat dan lain sebagainya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai karyanya yang memenuhi khazanah pemikiran Islam. Dalam kitab ini terhitung karya al Razi mencapai angka 35 kitab dari berbagai disiplin ilmu. Diantara karyanya yang masyhur dalam bidang tafsir adalah Mafatih al Ghaib. Dalam disiplin ilmu kalam, al Razi juga menulis sebuah kitab kecil berjudul I’tiqadat firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin yang sedang dalam bahasan kita kali ini.

IV. Seputar kitab I’tiqadat firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin
Dalam risalah kecil ini al Razi membahas tentang teologi sekte-sekte dalam Islam dan Non-Islam. Sebut saja, di Bab awal al Razi menyinggung sekte Mu’tazilah. Dalam 3 fasalnya, al Razi mengemukakan kesepakatan pembahasan aliran Mu’tazilah, kemudian mengapa mereka disebut Mu’tazilah dan kelompok-kelompok dalam sekte Mu’tazilah. Tidak lupa, al Razi juga menyisipkan radd atau bantahan terhadap sekte Mu’tazilah.
Pada Bab II al Razi menerangkan aliran Khawarij, beserta bantahan terhadap aliran ini. Dalam bab ini pula, diketengahkan sebuah pengantar dari aliran Rafidlah dan Zaidiyah yang akan dibahas pada bab III. Selanjutnya disusul biografi dari Imam Zaid bin Ali.
Pada Bab III al Razi menyinggung sekte-sekte dalam aliran Rafidlan. Kemudian secara khusus membahas kelompok al Kisaniyyah
Pada bab IV secara khusus al Razi membahas Musyabbahah dan bantahan terhadapnya.
Bab V al Razi membahas sekte-sekte dalam aliran Karamiyah
Bab VI al Razi membahas sekte-sekte dalam aliran al Jabariyah
Bab VII al Razi menyinggung aliran Murjiah, kemudian menyisipkan sebuah pengantar mengenai mazhab Syufiyah.
Bab VIII menerangkan keadaan-keadaan Syufiyah serta menyebutkan beberapa kelompok-kelompok Islamiyah.
Bab IX membahas kelompok yang berpura-pura memeluk Islam akan tetapi bukan muslim.

Beban Hukum (التكليف)

Oleh: Arif Syibromalizi, Lc.

A. Pendahuluan
Hukum dalam ushul fiqh adalah seruan (khithab) Allah yang berkaitan dengan aktivitas mukallaf, berupa tuntutan, pemberian pilihan dan penetapan/ketentuan-ketentuan. Berbicara tentang hukum dalam ushul fiqh tidak dapat terlepas dari unsur-unsur yang ada di dalamnya, seperti al-hakim, hukum itu sendiri, al-mahkum fiih dan al-mahkum ‘alaih.
Dalam makalah singkat ini, penulis berusaha menghadirkan kilasan tentang tema seputar beban hukum, objek hukum dan subjekl hukum.
B. Timbulnya Beban Hukum
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa dasar timbulnya pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan padanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur , mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW.
رفع اللم عن ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق
“Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh (H.R. Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib)
Dalam hadits lain dikatakan:
رفع عن أمتى الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه
“Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa” (H.R. Ibnu Majah dan al-Thabrani)
Muhammad Abu Zahra memberikan 3 hal seputar asas timbulnya pembebanan hukum:
1. Asas taklif (pembebanan hukum) adalah akal, karena taklif adalah khitab (titah) dari Allah swt., dan titah itu tidak akan diterima kecuali oleh orang yang berakal dan memahami maknanya.
2. Akal itu tumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan, dan seseorang dianggap telah layak diberi pembebanan hukum jika telah sempurna perkembangan akalnya.
3. Perkembangan akal adalah hal yang tidak kasat mata, karena hal itu terjadi dari waktu ke waktu sampai berakhir dengan sempurna. Maka harus diberi batasan yang tampak, yaitu baligh. Usia akil baligh adalah pembatas antara kesempurnaan akal dan tidak. Ketika baligh itulah seseorang diberi taklif.

C. Mengetahui Beban Hukum
Kaum muslimin tidak berbeda pendapat bahwa sumber hukum syara’ bagi perbuatan mukallaf adalah Allah swt., baik hukum mengenai perbuatan mukallaf itu telah dijelaskan secara langsung dalam nash yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, maupun yang digambarkan kepada para mujtahid untuk mengeluarkan hukum dari tanda-tanda yang ditetapkannya.
Yang menjadi perbedaan dikalangan para ulama adalah apakah hukum-hukum Allah atas perbuatan mukallaf itu mungkin diketahui oleh akal secara langsung tanpa perantara Rasul Allah dan Kitab-kitab-Nya?. Dengan kata lain, apakah orang yang tidak pernah mendengar dakwah para rasul itu mampu mengetahui hukum-hukum Allah atas perbuatannya cukup dengan rasio, tanpa perantara Rasul dan Kitab-kitab Allah atau tidak?
Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga mazhab:
1. Menurut mazhab al-Asya’irah yaitu pengikut Abu Hasan al-Asy’ari, bahwa akal tidak mungkin mengetahui hukum-hukum Allah atas perbuatan mukallaf kecuali dengan perantaraan para Rasul dan kitab-kitab Allah. Karena masing-masing akal akan berbeda dalam memahami perbuatan tersebut. Seringkali nafsu manusia mengalahkan akalnya, sehingga anggapan baik dan buruk itu berdasarkan hawa nafsu. Oleh karena itu tidak mungkin dikatakan, “apa yang menurut akal baik maka baik menurut Allah, dituntut oleh Allah untuk dikerjakan dan pelakunya akan diberi pahala oleh Allah dan sebaliknya. Menurut pendapat ini, perbuatan mukallaf yang baik adalah apa yang ditunjukkan syari’ bahwa perbuatan itu baik secara mubah maupun dituntut untuk dikerjakan. Dan perbuatan buruk adalah apa yang ditunjukkan oleh syari’ bahwa perbuatan itu buruk dengan tuntutan untuk ditinggalkan. Ukuran baik dan buruk menurut mazhab ini adalah syara’, bukan akal. Berdasarkan mazhab ini seorang manusia tidak mungkin untuk diperintah melakukan dan meninggalkan sesuatu kecuali setelah mendengar dakwah Rasul dan syariat Allah.
2. Menurut mazhab Mu’tazilah, pengikut Washil bin Atha’, bahwa hukum-hukum Allah itu mungkin diketahui langsung tanpa perantaraan para rasul dan kitab-kitab Allah. Karena setiap perbuatan manusia itu memiliki sifat yang dapat memberikan pengaruh manfaat atau bahaya, sehingga akal dapat menggunakan dasar sifat-sifat perbuatan itu. Apa yang dihasilkan oleh akal berdasarkan manfaat atau bahaya itu dihukumi baik dan buruk. Dan hukum Allah atas perbuatan hamba itu tergantung pada anggapan akal, bermanfaat atau berbahaya. Allah swt menuntut orang mukallaf untuk melaksanakan perbuatan yang bermanfaat menurut akal mereka, juga meninggalkan perbuatan yang berbahaya menurut akal mereka. Apa yang baik menurut akal maka dituntut oleh Allah dan pelakunya diberi pahala, sedangkan yang dianggap buruk oleh akal maka dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan dan pelakunya akan disiksa.
3. Menurut mazhab Maturidiyah, pengikut Abu Manshur al-Maturidi bahwa perbuatan orang-orang mukallaf itu mempunyai ciri-ciri tertentu dan memiliki pengaruh pada baik atau jeleknya perbuatan itu. Sedangkan akal, berdasarkan ciri-ciri dan pengaruh ini, akan mampu menghukumi bahwa perbuatan itu baik atau jelek. Apa yang dianggap oleh akal sehat baik, maka dihukumi baik, dan yang dianggap jelek maka dihukumi jelek. Tetapi hukum-hukum Allah atas perbuatan mukallaf itu tidak boleh ditetapkan baik atau jelek berdasarkan kemampuan akal kita. Karena meskipun akal telah matang, kadang juga salah, juga karena sebagia perbuatan yang tidak jelas menurut akal maka tidak dapat ditetapkan di antara hukum-hukum Allah dan tidak ditetapkan di antara hukum yang mampu diterima akal. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk dapat mengetahui hukum-hukum Allah kecuali melalui para Rasul-Nya.



D. Objek Hukum
Kita tahu bahwa hukum syaa’i terbagi menjadi 2 yaitu hukum wadhi’ dan hukum taklifi. Sebagian hukum wadh’i merupakan perbuatan manusia, dan sebagian lain tidak. Seperti seperti tergelincirnya matahari, munculnya bulan (hilal) yang bukan merupakan perbuatan manusia. Untuk ketentuan-ketentuan yang di luar perbuatan manusia tidak dibahas oleh para ahli ushul fiqh. Yang dibicarakan oleh para ahli ushul fiqh adalah segala perbuatan mukallaf, baik yang berhubungan dengan pembebanan murni, maupun pembebanan yang berkaitan dengan hukum wadhi’ seperti wudlu sebagai syarat shalat, jual beli yang menjadi sebab kepemilikan, membunuh yang menjadi penghalang pewarisan dan hubungan suami istri sebagai sebab saling mewariskan.
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih (المحكوم فيه) atau objek hukum adalah perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhsah, sah serta batal. Jadi objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu berkalu pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya “daging babi”. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”, yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
Perbuatan itu melekat pada diri manusia hingga bila suatu perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif. Dengan demikian, untuk menentukan apakah seorang dikenai beban hukum terhadap suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatannya itu telah memenuhi syarat untuk menjadi objek hukum.
Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
1. Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia lakukan. Pengetahuan mukallaf terhadap hukum perbuatan itu harus dibarengi dengan pengetahuannya tentang rukun, syarat, dan tata cara melaksanakan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, nash (ayat atau hadits) yang bersifat mujmal (global) tidak bisa menjadi dasar taklif sampai ada penjelasannya.
2. Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang akan ia laksanakan, sehingga pelaksanaannya merupakan ketaatan. Yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf terhadap sumber taklif adalah kemungkinan untuk mengetahuinya, yaitu melalui kemampuan akalnya. Jika seseorang telah akil baligh dan mampu mencerna perintah-perintah hukum syar’i dengan sendirinya atau dengan bertanya, maka ia telah dianggap mengetahui hukum tersebut.
Para ulama ushul fiqh tidak mensyaratkan bahwa setiap mukallaf harus mengetahui secara pasti dan mandiri hukum beserta dalilnya, karena hal ini menyebabkan sulitnya hukum itu dikerjakan atau seseorang akan mencari-cari alasan keberatannya untuk melaksanakan hukum tersebut.
3. Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf.
Syarat ketiga ini menimbulkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Jumhur menyatakan bahwa tidak boleh ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil, baik kemustahilan itu dilihat dari zatnya, maupun dari luar zatnya.
Kemustahilan yang dilihat dari zatnya adalah sesutau yang tidak tergambar eksistensinya oleh akal, seperti berkumpulnya dua hal yang berlawanan atau mewajibkan dan mengharamkan sesuatu kepada seseorang dalam satu waktu.
Kemustahilan yang dilihat dari luar zatnya adalah sesuatu yang tergambar eksistensinya oleh akal, akan tetapi menurut kebiasaan hal itu tidak bisa terjadi, seperti manusia terbang tanpa pesawat/alat bantu seperti burung atau mengangkat gunung yang besar. Kedua jenis kemustahilan itu, tidak sah adanya taklif karena Allah telah menyatakan bahwa taklif terhadap sesuatu yang tidak bisa dikerjakan itu tidak ada.
b. Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk orang lain, karena hal ini adalah taklif yang bukan pada dirinya. Oleh sebab itu, seseorang tidak dibebani kewajiban untuk mengerjakan shalat buat saudaranya; membayarkan zakat dari hartanya sendiri untuk atau atas nama saudaranya. Maka seseorang tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan orang lain.
Jika perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu, maka muncul persoalan, dapatkah perbuatan itu dilaksanakan/digantikan oleh orang lain? Dalam hal ini objek hukum terbagi 3: a. Objek hukum yang pelaksanaanya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif, seperti puasa dan shalat. b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan benda pelaku taklif, seperti zakat. c. Objek yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta pelaku taklif, seperti haji.
Setiap taklif yang berkaitan dengan harta benda, pelaksanaannya dapat digantikan oleh orang lain. Setiap taklif yang berkaitan dengan diri pribadi, harus dilakukan sendiri oleh yang dikenai taklif dan tidak dapat digantikan orang lain. Setiap taklif yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat digantikan orang lain pada saat tidak mampu melaksanakannya. Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan kepada orang lain dalam keadaan tidak mampu.
c. Tidak sah menurut syara’ membebankan perbuatan yang bersifat fithri yang manusia tidak turut campur di dalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar) seperti, sikap malu, takut, senang, marah, cinta, benci, gairah makan dan minum. Perbuatan-perbuatan seperti ini menurut ulama ushul fiqh bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia, maka tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu. Jika ada nash yang menunjukkan taklif dalam hal di atas maka nash itu dipalingkan dari makna zhahirnya kepada sebab akibatnya.
4. Tercapainya syarat syar’i dari perbuatan tersebut, seperti syarat iman dalam masalah ibadah dan bersuci untuk shalat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Persoalan yang populer yang berkaitan dengan masalah ini adalah apakah orang kafir dibebani taklif untuk melaksanakan hukum syara’?
Menurut Jumhur ulama yang terdiri dari Asy’ariyyah, Mu’tazilah dan sebagian ulama Hanafiyah, orang kafir dituntut untuk mengerjakan hukum syara’, dengan alasan bahwa seluruh ayat taklif bersifat umum untuk seluruh manusia, tanpa membedakan antara kafir dan muslim. Disamping itu, ayat yang membicarakan siksa di akhirat secara nyata meminta pertanggungjawaban orang kafir, diantaranya karena mereka tidak mengerjakan shalat dan tidak membayar zakat. Oleh karena itu menurut Jumhur ulama, terpenuhinya syarat syar’i, bukan merupakan syarat taklif. Sedangkan mayoritas Ulama Hanafiyyah dan Abu Hamid Al-Asfarayni menyatakan bahwa terpenuhinya syarat syar’i taklif merupakan syarat adanya taklif tersebut. Akibatnya, orang kafir tidak dikenakan taklif untuk mengerjakan hukum syara’, karena kalau mereka dikenakan taklif hukum-hukum syara’ berarti suatu pelegalisasian terhadap kekafiran mereka.

Seluruh titah syari’ ada objeknya. Objeknya itu adalah perbuatan mukallaf. Terhadap perbuatan mukallaf ini ditetapkanlah suatu hukum. Misalnya Allah berfirman:
a. Dalam surat al-Baqarah, 2: 43
وأقيموا الصلاة
“Dirikanlah olehmu shalat…” (Q.S. al-Baqarah, 2: 43)
Kewajiban dalam ayat itu berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu kewajiban mendirikan shalat.
b. Dalam surat al-An’am, 6: 151
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar..”
Dalam ayat ini ada larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan membunuh, maka membunuh itu hukumnya haram.
c. Dalam surat al-Baqarah, 2: 178
ياأيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…”
Pembunuhan yang dipaparkan ayat ini muncul dari perbuatan mukallaf, dan pembunuhan itu menjadi sebab disyariatkannya qishash.
d. Rasulullah Saw. bersabda:
لا يرث القاتل
“Pembunuh tidak mewarisi..” (H.R. Abu Daus, Imam Malik dan Ahmad ibn Hanbal)
Salah satu penyebab seseorang terhalang mendapat harta warisan, menurut hadits ini adalah pembunuhan. Pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf.
Karena objek hukum adalah perbuatan mukallaf, maka para ahli ushul fiqh menetapkan kaidah “tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan”. Akan tetapi, mayoritas ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa objek hukum terkait dengan larangan bukan berbentuk perbuatan, melainkan mengambil sikap tidak berbuat. Sikap tidak berbuat ini menurut mereka bukanlah perbuatan. Namun Jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa sikap tidak berbuat itu termasuk objek hukum dan terkait dengan perbuatan mukallaf.

E. Subjek Hukum
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Dalam istilah ushul fiqh, subjek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum ‘alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum.
Senada dengan ta’rif di atas, Dr. Abdul Karim Zaidan memberi pengertian objek hukum adalah seseorang yang perbuatannya berhubungan dengan khitab Syari’.
Dalam berbagai literatur, disyaratkan dua hal untuk sahnya taklif bagi subjek hukum:
1. Seseorang telah mampu memahami petunjuk taklif atau tuntutan syari’, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Karena taklif adalah khithab dan memberi khithab kepada orang yang tidak berakal dan tidak paham adalah mustahil. Kemampuan untuk memahami khitab tersebut adalah menggunakan akal, karena akal adalah alat untuk memahami dan mengetahui sesuatu. Akan tetapi, karena akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, serta berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, maka syara’ menentukan patokan dasar sebagai indikasi yang konkrit (jelas) dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkrit itu adalah balighnya seseorang. Penentu seseorang telah baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimipi yang pertama kali.
Dapat disimpulkan bahwa syarat subjek hukum yang pertama adalah baligh dan berakal. Orang yang tidak memenuhi persyaratan itu tidak berlaku padanya tuntutan hukum atau taklif, seperti anak kecil, orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur, dan orang yang tersalah. Mereka tidak dikenakan taklif karena dalam keadaan atau status mereka masing-masing tidak atau belum mampu memahami dalil syara’.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah Ushul disebut ahlun li al-taklif (أهل للتكليف). Kecakapan menerima taklif atau yang disebut ahliyah (أهلية) adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
- Kecakapan untuk dikenai hukum atau yang disebut ahliyah al-wujub (أهلية الوجوب) yaitu kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Para ahli ushul membagi ahliyah al-wujub itu kepada dua tingkatan:
a. Ahliyah al-wujub naqishah (أهلية الوجوب ناقصة) atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tapi tidak menerima kewajiban; atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.. Contoh pertama seperti bayi atau janin yang telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, walau belum lahir. Bayi dalam kandungan tidak dibebani kewajiban apa-apa karena secara jelas ia belum bernama manusia. Contoh kedua, orang mati yang meninggalkan utang. Dengan kematiannya ia tidak akan mendapatkan apa-apa lagi, karena hak hanyalah untuk orang hidup. Tetapi si orang mati itu tetap dikenai kewajiban untuk membayar utangnya semasa ia masih hidup.
b. Ahliyah al-wujub kamilah (أهلية الوجوب كاملة) atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga menerima hak.. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas. Contoh pertama, anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia juga sudah dikenai kewajiban zakat fitrah atau zakat harta. Contoh kedua, orang yang sedang sekarat, disamping ia menerima warisan dari orang tua arau kerabatnya yang lebih dulu meninggal, ia juga dibebani kewajiban zakat atas harta-nya yang telah memenuhi syarat untuk dizakatkan.
Ahliyah al-ada (أهلية الأداء) atau kecakapan untuk menjalankan hukum yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum.
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkatan itu adalah:
1. ‘Adim al-ahliyah (عديم الأهلية) atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekita umur 7 tahun. Dalam batas umur ini, seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Karena itu anak semur itu belum disebut mukallaf atau belum dituntut melaksanakan hukum.
2. Ahliyah al-ada’ naqisha (أهلية الأداء ناقصة) atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan naqhishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia batas umur ini dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum.
3. Ahliyah al-ada’ kamilah (أهلية الأداء كاملة) atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
Di bagian akhir makalah ini, penulis kemukakan tentang halangan ahliyah. Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa penentuan cakap atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi mereka juga sepakat, bahwa sesuai dengan hukum biologis, akal seseorang bisa berubah, kurang dan hilang sama sekali, sehingga mengakibatkan mereka tidak dianggap cakap lagi dalam bertindak hukum.
Dalam hubungan ini, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan:
1. ‘Awaridl al-samawiyah (العوارض السماوية) maksudnya halangan yang datang dari Allah, bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, maradl maut,dan lupa
2. ‘Awaridl al-muktasabah (العوارض المكتسبة) maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.

F. Penutup
Sebagai penutup penulis hanya mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Amir Syarifuddin atas bimbingannya. Juga penulis minta maaf yang sebesar-besarnya jika makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
وما توفيقى الا بالله عليه توكلت واليه أنيب



DAFTAR PUSTAKA

- Amir Syarifuddin, Prof. DR., Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos,1997)
- Abdul Wahhab Khalaf, Prof. Dr., Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), terj. Faiz el-Muttaqin S.Ag.
- Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Cairo: Dar el Fikr el Arabi, 1997)
- Nasrun Haroen, DR. M.A., Ushul Fiqh 1, (Jakarta:Logos)
- Wahbah Al-Zuhaili, DR. ,Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar el-Fikr, 2006), Cet. XIV, Juz I
- Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah Risalah, 2003)