Selasa, Februari 06, 2018

Kamus Istilah Keagamaan; Upaya Melindungi Pemahaman Umat Beragama dari Penyimpangan

Penulis: Tim Penyusun; Judul Buku: Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu); Penerbit: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Jakarta; Cetakan: Pertama, Desember 2014; Tebal: vii + 623 hal.; Ukuran Buku: 20 x 24 cm.


“Saya sangat mengapresiasi atas terbitnya Kamus Istilah Keagamaan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI. Buku rujukan tentang istilah keagamaan ini saya pandang penting bagi peningkatan kualitas keberagamaan dan pengetahuan masyarakat Indonesia umumnya”, demikian petikan sambutan Menteri Agama dalam buku ini.
Kamus Istilah Keagamaan adalah sebuah kamus yang memuat entri-entri istilah keagamaan berserta definisinya yang biasa digunakan oleh umat beragama.
Secara umum, kamus ini disusun dengan tujuan memberi pemahaman tentang arti istilah keagamaan yang didefinisikan sesuai dengan ajaran agamanya, melindungi keyakinan umat beragama dari kekeliruan dalam memahami ajaran agama, dan lebih mendorong terwujudnya kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Secara khusus, kamus ini menjawab keinginan masyarakat beragama yang menilai Istilah keagamaan yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) belum memenuhi harapan umat, baik dari aspek jumlah istilah yang dimuat maupun tingkat ketepatan arti istilah yang didefinisikan. Sementara, masyarakat atau umat beragama masih memerlukan pengetahuan dan pemahaman konseptual mengenai masalah keagamaan.
Adalah Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, salah satu unit kerja di bawah Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, yang menangani bahan bacaan dan warisan budaya keagamaan berusaha memenuhi kebutuhan umat akan terbitnya sebuah kamus keagamaan yang komprehensif dan mencerahkan. Diawali dari ”Lokakaraya Istilah-istilah Keagamaan” yang diselenggarakan di Bogor tahun 2008, yang  merekomendasikan perlunya disusun suatu kamus tentang istilah keagamaan, maka penulisan kamus ini dimulai.
Terbitnya kamus keagamaan ini, didasarkan pada misi Badan Litbang dan Diklat yaitu: “Meningkatkan Kualitas Kehidupan Beragama dan Meningkatkan Kualitas Kerukunan Umat Beragama” yang muaranya adalah mendukung visi Kementerian Agama yaitu “Terwujudnya Masyarakat Indonesia yang Taat Beragama, Rukun, Cerdas, Mandiri dan Sejahtera Lahir Batin.”
Kamus ini memuat entri rujukan untuk 6 (enam) agama yang disebutkan dalam konstitusi, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing entri disediakan dalam bab tersendiri (tidak dicampur atau disatukan) untuk memudahkan pencariannya dengan meletakkan urutan sajian istilah keagamaan: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Penulisan kamus yang sudah dilakukan semenjak 2010 ini menghasilkan 9.134 entri untuk seluruh agama, dari rencana 15.000 entri yang ditargetkan. Terdiri dari 4.068 entri Islam, 650 entri Kristen, 483 entri Katolik, 1.584 entri Hindu, 877 entri Buddha dan 1.472 entri Khonghucu.
Sejumlah kriteria (ukuran) ditetapkan dalam dalam penulisan kamus ini, untuk menjamin kualitas dan kebutuhan umat beragama, diantaranya Pertama, entri yang didefinisikan adalah istilah/kata keagamaan yang spesifik, dalam arti istilah yang mengandung konsep atau isi pesan tertentu; Kedua, entri yang terdapat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) tetap dipertahankan seperti apa adanya; Ketiga, entri serapan (derivasi) yang sudah dipergunakan dalam bahasa Indonesia diikuti istilah aslinya; Keempat, entri dasar yang memiliki kesamaan arti antar agama, diperlukan kesepakatan pendefinisian (pengartian)--baik oleh pihak internal umat beragama maupun oleh umat agama lainnya; dan Kelima, dalam pendefinisian suatu entri, perlu adanya kesefahaman kerangka pikir antar agama yang berbeda, agar tidak terjadi kesalah-fahaman terhadap istilah.
Oleh karena itu, secara spesifik entri yang dimuat dalam kamus ini harus memuat ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, entri  betul-betul mengenai istilah keagamaan; Kedua, entri yang didefinisikan tidak mengandung arti/makna yang kontradiktif antara pemahaman satu agama dengan agama yang lain; Ketiga,  entri tidak mengintervensi istilah keagamaan yang digunakan agama lain; Keempat, entri yang dipilih benar-benar merupakan kebutuhan yang dirasakan umat beragama; dan Kelima, entri keagamaan yang terkait dengan istilah kebudayaan, perlu diperjelas keterkaitannya.
       Cara penggunaan kamus ini juga terbilang mudah, karena telah dilengkapi dengan cara baca untuk masing-masing agama, sehingga memudahkan pembaca untuk menemukan entri yang dicari. [Arv]

Selasa, Maret 03, 2015

Resep Menghadapi Takut, Resah dan Tipu daya

Dua Nasehat
Hidup manusia tidak terlepas dari coba dan ujian dari Allah swt. Sebagai makhluk yang lemah, manusia harus menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhannya, sembari selalu berusaha mencari jalan terbaik untuk keluar dari cobaan dan ujian tersebut. Dan Islam melalui Al-Qur'an selalu mempunyai jalan keluar yang dibutuhkan manusia. Dalam sebuah hadis dikatakan: “Aku tinggalkan 2 nasehat kepadamu, nasehat pertama yang dapat berbicara dan nasehat yang kedua tidak dapat berbicara (bisu). Nasehat yang dapat berbicara adalah Al-Quran dan nasehat yang tidak dapat berbicara adalah kematian”.
Barangkali hadis ini terinspirasi dari firman Allah swt dalam Q.S. Yunus, 57 yang berbunyi “Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman”. Dalam ayat ini dijelaskan fungsi Al-Quran bagi manusia adalah sebagai pelajaran (nasehat, mau’izah), penyembuh, petunjuk serta kasih sayang bagi umat manusia.
Sedangkan mengenai kematian, hadis ini juga dikuatkan hadis lain yang diriwayatkan oleh ‘Ammar bin Yasir bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Cukuplah kematian sebagai nasihat/pelajaran, dan cukuplah keyakinan sebagai kekayaan dan cukuplah ibadah sebagai pekerjaan”.

Kehebatan Al-Qur’an
Al-Qur’an memuat segala dimensi kemanusiaan baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Segala yang terjadi pada manusia dan ditanyakan oleh manusia, sejatinya telah ada jawabannya dalam rangkaian ayat-ayat indah Al-Qur’an. Tentunya, bagi orang yang mau belajar dan mencari.
Bahkan, hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia sekalipun ada dalam Al-Qur’an. Menarik untuk disimak, sebuah kisah yang terjadi pada waktu Umar bin Khattab menjadi Khalifah kedua. Pada waktu itu, datang serombongan pendeta Yahudi berjumlah 50 orang yang menanyakan hal-hal aneh kepada Umar. Umar yang tidak pandai dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, akhirnya memanggil Ali bin Abi Thalib yang masyhur dengan kecerdasannya.
Diantara pertanyaan pendeta Yahudi itu adalah:
1.  Adakah kuburan yang berjalan bersama penghuninya?
2. Sebutkan makhluk yang dapat memperingatkan sebangsanya, tapi bukan dari golongan jin atau manusia?
3.  Jelaskan 5 makhluk yang berjalan dimuka bumi ini, namun tidak dilahirkan oleh induknya?
Bagi Ali, pertanyaan-pertanyaan tersebut sangatlah mudah karena sudah termaktub dalam Al-Qur’an. Pertanyaan pertama: Kuburan yang berjalan bersama penghuninya adalah ikan hiu yang menelan Nabi Yunus. Dikabarkan ikan itu telah melalui 7 samudera bersama “penghuni-penghuni” yang ada di dalamnya (Q.S. ash-Shaffat: 139-144). Pertanyaan kedua, makhluk itu adalah semut yang memperingatkan teman-temannya untuk masuk ke dalam sarang, agar tidak terinjak oleh pasukan Nabi Sulaiman (Q.S. an-Naml: 18). Pertanyaan ketiga, makhluk-tersebut adalah Nabi Adam, Siti Hawa, Domba Nabi Ibrahim (Q.S. ash-Shaffat: 107), Unta Nabi Soleh (Q.S. al-A’raf: 73) dan Ular Nabi Musa, yang awalnya adalah tongkat(Q.S. asy-Syu’ara: 45). Jawaban semuanya ada di dalam al-Qur’an.

Resep Qur’ani
Kembali ke fungsi al-Qur’an sebagai nasehat, menarik untuk disimak pesan seorang Imam besar yaitu imam Jakfar as-Shadiq yang menjelaskan resep al-Qur’an agar terhindar dari masalah-masalah kehidupan. Di bawah ini adalah pesan Imam Jakfar as-Shadiq, agar terhindar dari ketakutan, keresahan dan tipu daya manusia.

Terbebas dari ketakutan
Ketakutan/rasa takut adalah kegelisahan fisik dan perasaan karena sebab yang sudah diketahui. Al-Qur’an memberikan resep untuk mengusir rasa takut itu. Dalam Q.S. Ali Imran: 173 ditegaskan,
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” Barangsiapa yang membaca bacaan tersebut, maka akan terhindar dari rasa takut, karena Allah berfirman pada ayat selanjutnya yaitu ayat 174: “Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu bencana..”Ini merupakan janji Allah bagi orang yang membaca ayat di atas. Segala hal yang menakutkan manusia sejatinya di bawah kuasa Allah, maka cukuplah Allah sebagai pelindung manusia dalam menghadapi apa yang ditakutkan. 

Terbebas dari keresahan dan kedukaan
Berbeda dengan takut, resah adalah kegelisahan fisik dan perasaan karena sebab yang tidak diketahui. Al-Quran memberikan resep untuk mengusir rasa resah/duka itu. Dalam Q.S. al-Anbiya: 87 dianjurkan untuk membaca:
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku  termasuk orang-orang yang zalim.” Siapa yang membaca ayat tersebut niscaya akan terhindar dari keresahan, karena di ayat selanjutnya Allah menegaskan: Maka Kami kabulkan (doa) nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Anbiya: 88)
Terbebas dari Tipu daya
Hidup bermasyarakat tidak dapat terhindar dari gesekan dan konflik dengan sesama. Jika kita terkena tipu daya dari orang lain, maka dianjurkan untuk membaca:
وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”(Q.S. al-Mu’min: 44). Janji Allah dalam ayat selanjutnya adalah: Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka..” (Q.S. al-Mu’min: 45).
Demikianlah indahnya al-Qur’an memberikan solusi untuk permasalahan dalam kehidupan ini. Jika digali lebih lanjut, masih banyak sekali nasehat-nasehat al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan dikala manusia mendapatkan ujian dan cobaan. [Syibromalizi]

Minggu, Februari 16, 2014

Resensi Buku Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum dan Perundang-undangan

Sesuai dengan rumusan khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia (MUI), MUI mempunyai lima fungsi dan peran utama yaitu: pertama, sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya); kedua, sebagai pemberi fatwa (mufti); ketiga, sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri'ayah wa khadim al Ummah); keempat, sebagai gerakan Islah wa al Tajdid; dan kelima, sebagai penegak Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar. Sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa di Indonesia, selama lebih dari 35 tahun dari berdirinya, MUI telah menerbitkan berbagai macam fatwa dalam berbagai dimensi, mulai dari hukum, sosial, politik, budaya, etika, dan bahkan juga ekonomi. Dengan momentum Milad yang ke-36 ini, MUI berupaya melakukan evaluasi (muhasabah) atas perjalanan MUI selama ini dengan mengundang para ulama, cendekiawan, dan peneliti yang intensif terlibat dalam kajian MUI dalam rangka mengkaji dan melakukan diskusi akademik terkait dengan peran dan khidmah MUI. Adapun buku ini adalah merupakan kompilasi makalah terpilih dari call for papers dalam acara Islamic Conference on MUI Studies,pada kegiatan Milad MUI ke-36. Secara sistematik buku ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama buku ini menyoroti fatwa MUI dari dimensi legalitas hukum dan undang-undang, bagaimana fatwa yang merupakan instrumen hukum MUI yang sifatnya tidak mengikat kemudian dewasa ini memiliki kedudukan yang semakin kuat sebagai bahan landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pada bagian ini juga dipaparkan pula perjalanan fatwa MUI dari tahun ke tahun, beserta faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi kemunculan fatwa tersebut. Bagian kedua,buku ini menyoroti MUI sebagai lembaga fatwa di Indonesia. Dimulai dengan ulasan sejarah dan perkembangan lembaga fatwa di Indonesia serta peranan MUI dalam perspektif sosial-politik pada rentang tahun 1975–1990, masa ketika orde baru sedang giat-giatnya mencari bentuk yang tepat bagi pembangunan Indonesia setelah terbangun dari keterpurukan Orde Lama. Bagian ketiga buku ini menyoroti fatwa MUI secara spesifik dalam ekonomi syariah serta bagaimana dinamika fatwa dan otoritas fatwa terhadap ekonomi syariah dalam sistem hukum Indonesia berikut analisa di dalamnya. Bagian keempat, dalam bab terakhir buku ini menyoroti tentang politik dan sosial keagamaan, bagaimana fatwa MUI terkait dengan isu-isu aktual kontemporer seperti halnya tentang Golongan Putih (Golput), telaah kritis metodologi Istinbath MUI, fatwa hukum rokok, fatwa tentang wakaf uang, arah kiblat, fatwa pelarangan khitan perempuan, penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal, dst.. Adalah dirasa penting untuk mengetahui bagaimana aktualisasi dan kontekstualisasi fatwa MUI dalam isu-isu kontemporer, sehingga dari tulisan-tulisan pada bab terakhir ini kita bisa melihat sinergi posisi MUI dan keterlibatan MUI dengan fatwanya sebagai lembaga yang memiliki peran yang strategis dan penting dalam perubahan sosial, yaitu sebagai pelaku perubahan sosial (agent of change).

Rabu, Agustus 22, 2012

Sinopsis Buku I; Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi

Identitas Buku
Judul Buku: Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi; Pengarang: Syaikh Idahram; Penulis: Syaikh Idahram; Editor: Irwansyah; Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta; Cetakan: II, 2011; Tebal: 338 hlm.; Ukuran: 13,5 x 20,5 cm.

Isi Buku
Buku yang berjudul Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi ini merupakan bagian ke tiga dari Trilogi Data dan Fakta Penyimpangan Salafi Wahabi. Dua buku sebelumnya yang berjudul Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi; Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama dan buku Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik; Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi telah mendapat respon yang sangat positif dari para pembaca.
Secara umum isi buku ini meliputi tiga bagian besar. Bagian I mengulas tentang Penyimpangan Tiga Tokoh Utama Salafi Wahabi. Sebelum membicarakan ketiga tokoh tersebut, penulis terlebih dahulu mengungkapkan siapakah itu Salafi Wahabi. Ketiga tokoh Salafi Wahabi yang menurut penulis menyimpang adalah Ibnu Taimiyyah al-Harrani yang dikatakan sebagai Soko Guru Wahabi. Tokoh kedua adalah Muhammad Ibnu Abdul Wahab yang merupakan pendiri Salafi Wahabi dan tokoh ketiga adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani yang dikenal sebagai “Ahli Hadis” Salafi Wahabi.
Bagian II bertemakan Mewaspadai Para Tokoh Salafi dan Propaganda Mereka. Dalam bagian ini penulis mengupas beberapa hal, diantaranya Mewaspadai Propaganda Salafi Wahabi dalam rangka menyesatkan dan membodohi umat. Propaganda yang harus diwaspadai juga terhadap Tokoh Salafi Wahabi dan karya-karya mereka. Tidak terbatas pada karya-karya mereka, akan tetapi propaganda mereka juga diungkapkan oleh penulis dengan menggunakan media-media lain seperti Situs Website/ Blog ustaz-ustaz Salafi Wahabi. Dalam bagian ini penulis juga mengulas nama-nama penerbit buku yang berpaham Salafi Wahabi.
Pada bagian III penulis mengulas kontra Salafi Wahabi. Pada bagian ini penulis mengangkat tema Bantrahan dari Ulama Internasional. Bantahan terhadap Salafi Wahabi terlihat pada ratusan Buku Ulama Islam terkemuka. Diantaranya ada yang membatah Salafi Wahabi secara umum, ada juga yang mengkhususkan satu tokoh Salafi Wahabi tertentu seperti Ibnu Taimiyyah, Muhammad Ibnu Abdul Wahab dan Al-Albani. Dalam bagian akhir buku ini diungkapkan fatwa Ulama Al-Azhar yang mengatakan Salafi Wahabi adalah sesat, begitu pula pembagian Tauhid versi Salafi Wahabi adalah Sesat.
Mengawali pembahasan tentang Penyimpangan Tiga Tokoh Utama Salafi Wahabi, penulis mengulas jati diri Salafi Wahabi dan asal-usulnya. As-salaf secara epistemologis bermakna orang-orang yang hidup sebelum zaman kita. Secara terminologis, as-salaf adalah generasi tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah. Tapi akhir-akhir ini istilah salafi oleh satu kelompok diklaim sebagai satu-satunya kelompok yang mengikuti orang-orang salaf. Dahulu salafi dikenal dengan nama wahabi. Tidak ada perbedaan Salafi yang ini dengan Wahabi. Sewaktu di Jazirah Arab, mereka dikenal dengan Wahhabiyah Hanbaliyah, namun ketika di ekspor ke luar Saudi, mereka menamakan dirinya dengan ‘Salafi’. (h. 33-35)
Beberapa tokoh Salafi Wahabi yang dianggap menyimpang oleh penulis adalah Ibnu Taimiyyah al-Harrani (Soko Guru Wahabi), Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Pendiri Salafi Wahabi) dan Muhammad Nashiruddin al-Albani (Ahli Hadis Salafi Wahabi). Ibnu Taimiyyah yang digelari Syaikh al-Islam oleh mereka keliru dalam beberapa hal diantaranya: Ibnu Taimiyyah mentasybih dan mentajsim Allah dengan makhluk-Nya dengan beberapa bukti dalam karya-karyanya seperti dalam kitab Bay±n Talb³s al-Jahmiyyah atau yang juga dikenal dengan Naqd As±d at-Taqd³s (at-Ta’s³s f³ raddi as±s at-Taqd³s). (h. 48). Ibnu Taimiyah juga meyakini kemurnian Injil dan Taurat, bahkan menjadikannya referensi. Ini bisa dilihat dalam kitab Fatawa-nya di jilid 5 halaman 406. (h. 59). Ibnu Taimiyah menyatakan: Alam dunia dan makhluk kekal abadi. Hal ini diketahui melalui buku al-Muwafaqah jilid 2, halaman 75. (h. 64). Ibnu Taimiyah membenci keluarga Nabi Saw. (Ahlul Bait). Dia menuduh ahlul bait seperti Imam Ali sebagai orang durjana dan haus kekuasaan, hal ini diungkapkan dalam bukunya Minh±j as-Sunnah an-Nabawiyyah. (h. 67). Ibnu Taimiyah menghina para sahabat utama Nabi Saw. dan para ulama (h. 67). Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan lain. Adapun Muhammad Ibnu Abdul Wahab, penulis mencatat ada 12 penyimpangan, diantaranya adalah mewajibkan hijrah ke Nejd (h. 97). Mengharamkan salawat kepada Nabi Saw. (h. 98). Sombong dan merasa lebih baik dari Rasulullah (h. 106). Mengkafirkan para pengguna “Sayyid”, para ulama sezamannya, dan mengkafirkan Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in dan Ibnu Faridh. Yang lebih jauh lagi, ia menyamakan orang-orang Kafir dengan orang-orang Islam (h. 108-116). Memuji kafir Quraisy, Munafik dan Murtad, namun mencaci kaum muslimin (h. 119). Selanjutnya penulis mengungkap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang merupakan ahli hadis Salafi Wahabi, diantaranya adalah ia merasa lebih baik dari Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ulama hadis lain, bahkan berani mengkafirkan Imam Bukhari. Lebih berani lagi, ia melemahkan ribuan hadis yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim (h. 133-143). Al-Albani disinyalir juga bnayk melakukan kesalahan, suka menipu, berbohong dan mengeluarkan fatwa-fatwa menyimpang (h. 165-179)
Dalam rangka mewaspadai para tokoh Salafi Wahabi dan propagandanya, penulis memberikan peringatan kepada pembaca untuk berhati-hati terhadap ulama-ulama dan media yang berafiliasi kepada Salafi Wahabi, diantaranya Ibnu Baz, Ibnu Shalih al-Utsaimin, Shalih ibnu Fauzan dan lain-lain. (h. 215-230). Penulis juga mengingatkan pembaca untuk berhati-hati terhadap beberapa media yang dicurigai membawa misi Salafi Wahabi, diantaranya Maktabah Syamilah yang memuat beberapa kitab-kitab salafi wahabi, situs/blog ustaz-ustaz wahabi dan beberapa penerbit buku yang berfaham salafi wahabi (h. 233-237).
Pembahasan buku ini diakhiri dengan bantahan ulama internasional terhadap paham Salafi Wahabi. Penulis menyebutkan ulama-ulama, buku-buku dan fatwa-fatwa yang membantah dan menganggap sesat aliran Salafi Wahabi, diantaranya adalah fatwa Ulama al-Azhar. (h. 241-323).
Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena memaparkan secara ringkas dan cerdas berbagai kerancuan dan penyimpangan tokoh-tokoh ulama sekte Salafi Wahabi, berikut gugatan para ulama terkenal Ahlussunnah wal Jama’ah dari berbagai, dari berbagai generasi, berbagai belahan dunia, dan berbagai bidang keilmuan yang berbeda. Selamat Membaca. [Arif Syibromalisi]

Minggu, Oktober 30, 2011

Konsep Islam, Iman dan Ihsan dalam Naskah Al-Miftah fi Syarh Ma‘rifah Al-Islam


Arif Syibromalisi
e-mail: ar_vie@yahoo.com


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Naskah kuno atau manuskrip adalah dokumen dari berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan, tetapi lebih mengkhususkan kepada bentuk yang asli sebelum dicetak. Kata tersebut juga bisa berarti karangan, surat, dan lain sebagainya yang masih ditulis dengan tangan.1 Sedangkan menurut UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992, Bab I Pasal 2, Naskah kuno atau manuskrip adalah dokumen dalam bentuk apapun yang ditulis dengan tangan atau diketik yang belum dicetak atau dijadikan buku tercetak yang berumur 50 tahun lebih.2

Ribuan naskah Islam dalam beragam bahasa masyarakat Indonesia telah terdaftar dalam beberapa katalog dan disimpan oleh beberapa instansi luar negeri dan di Indonesia, terutama di Perpustakaan Nasional. Henry Chambert Loir & Oman Fathurahman, dengan keahlian mereka dalam bidang filologi, telah menyusun sebuah buku penting Khazanah Naskah: Panduan Naskah-Naskah Indonesia Sedunia (World Guide to Indonesian Manuscript Collection) yang diterbitkan oleh Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO)-Yayasan Obor Indonesia, tahun 1999. Keberadaan naskah-naskah Indonesia di dunia telah diberitahukan dan digambarkan; beberapa katalog dan juga literatur-literatur tentang filologi, juga telah disempurnakan. Jelas bahwa usaha Henri Chambert-Loir & Oman Fathurahman telah memberi kontribusi berharga bagi akselerasi dan perkembangan studi filologi di Indonesia. Selain itu, mereka telah menyumbangkan pengetahuan bagi orang Indonesia mengenai bagaimana mendapatkan informasi tentang naskah Indonesia di dunia.3

Selain usaha katalogisasi, melestarikan naskah Nusantara juga ditempuh dengan cara menelisik kandungan dari naskah-naskah tersebut. Meneliti kandungan naskah sangat diperlukan untuk memberikan informasi mengenai masa lampau suatu masyarakat, yang meliputi berbagai segi kehidupan sehingga dapat diketahui oleh masyarakat masa kini melalui peninggalan-peninggalan, baik yang berupa benda-benda budaya maupun karya-karya tulisan. Khusus naskah-naskah keagamaan, usaha meneliti kandungan naskah ini telah dilakukan oleh Kementerian Agama melalui Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, maupun Perguruan Tinggi Islam yang berada di bawah Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama, baik yang berbentuk buku ataupun karya ilmiah lainnya.
Karya tulis berupa naskah atau manuskrip pada umumnya menyimpan kandungan berita masa lampau yang mampu memberikan informasi secara lebih terurai, mempunyai cakupan informasi yang luas dan menjangkau berbagai segi kehidupan masa lampau, selain memuat kekayaan intelektual para cendekiawan masa lalu yang masih relevan untuk dikaji pada masa kini.

Naskah al-Miftah fi Syarh Ma‘rifah al-Islam adalah salah satu naskah koleksi Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan yang berisi tentang pengertian dan prinsip-prinsip dasar tentang Islam, iman dan ihsan. Topik Islam, Iman dan Ihsan merupakan hal yang sangat penting untuk dibahas, khususnya jika dikaitkan dengan kehidupan beragama di Indonesia. Kajian ini berusaha meneliti naskah al-Miftah dari sisi fisik dan kandungannya. Penghayatan terhadap prinsip-prinsip Islam, Iman dan Ihsan melalui kajian ini dianggap perlu untuk menyegarkan kesadaran masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama melalui pemahaman Islam Iman dan Ihsan secara komprehensif.

Masalah
Fokus pembahasan dalam artikel ini adalah mengenai kondisi dan kandungan naskah secara umum. Setelah itu pemaknaan Islam, Iman dan Ihsan sesuai yang tersurat dalam naskah. Oleh karena itu, dapat dirumuskan 2 pertanyaan penelitian yaitu:
1)Bagaimana kondisi dan kandungan naskah al-Miftah?
2)Bagaimana naskah al-Miftah memberi makna terhadap terminologi Islam, Iman dan Ihsan?

Tujuan
Sesuai dengan permasalahan yang akan dijawab dalam melalui penelitian ini, maka tujuan yang ingin dicapai adalah:
1)Untuk mengetahui kondisi dan kandungan naskah al-Miftah
2)Untuk mendeskripsikan makna terminologi Islam, Iman dan Ihsan menurut naskah al-Miftah

Tinjauan Pustaka
Kajian tentang naskah sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, baik naskah-naskah umum maupun keagamaan. Penelitian naskah pernah dilakukan oleh Dadan Wildan dalam disertasinya di Universitas Padjajaran tahun 2001 yang berjudul Ceritera Sunan Gunung Jati Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta (Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah, Isi, dan Analisis Sejarah dalam Naskah-naskah Tradisi Cirebon). Dalam disertasinya, Dadan Wildan meneliti naskah-naskah Cirebon yang berhubungan dengan ceritera Sunan Gunung Jati. Fokus penelitiannya adalah mengungkap kisah tokoh Sunan Gunung Jati dan komunitas masyarakatnya melalui dokumen tertulis (naskah-naskah lama) agar dapat diketahui oleh masyarakat masa kini dengan jalan menggali isi dan makna dari teks sunan Gunung Jati yang terdapat dalam naskah-naskah tradisi Cirebon.4

Penelitian sejenis dilakukan oleh Zakiyah berjudul Naskah Nabi Wafat: Deskripsi dan Kajian Isi. Fokus penelitian ini pada bagaimana kondisi fisik naskah, apa saja nilai Islam yang terkandung dalam teks Nabi Wafat, dan bagaimana posisi teks Nabi Wafat di antara teks-teks lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan kodikologi, analisis isi dan inter-teks.5 Dan masih banyak lagi penelitian-penelitian sejenis yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu.

Sepanjang penelusuran penulis, penelitian terhadap naskah al-Miftah fi Syarh Ma‘rifah al-Islam belum pernah dilakukan. Naskah ini baru sebatas dikatalogisasi oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan. Oleh karena itu, dianggap perlu mengeksplorasi naskah ini lebih dalam, baik fisik maupun isinya.

Metode
Penelitian ini menggunakan data kepustakaan (library research). Dalam menganalisis data digunakan analisis teks (text analysis), digunakan untuk melakukan analisis dan deskripsi terhadap makna yang terkandung dalam naskah. Berkenaan dengan hal tersebut, metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik dengan bantuan filologi. Yaitu, mendeskripsikan data harus melalui tulisan dalam bentuk naskah. Penyajian data dilakukan bukan dalam bentuk angka, melainkan dalam bentuk verbal.6
Langkah-langkah metode deskriptif-analitik ini meliputi: penggambaran kondisi fisik naskah secara menyeluruh, kemudian penjelasan isi teks secara ringkas. Setelah itu deskripsi dan interpretasi teks tentang makna Iman, Islam dan Ihsan yang ada dalam teks naskah.

Untuk mendeskripsikan kondisi fisik naskah yang diteliti, digunakan ilmu bantu, yakni kodikologi. Kata kodikologi berasal dari bahasa Latin Codex yang berarti buku dan Logie artinya ilmu, jadi kodikologi adalah ilmu yang meneliti buku tulisan tangan (naskah). Dalam kodikologi, naskah dilihat dari sisi fisik atau bentuknya, yakni meliputi antara lain, jumlah halaman/lempir, jumlah baris per halaman, jenis aksara, iluminasi, warna tinta dalam naskah, kolofon dan lainnya.5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Fisik Naskah al-Miftah
Judul Naskah diambil dari halaman pertama yaitu al-Miftah fi Syarh Ma‘rifah al-Islam (Kunci Penjelasan untuk mengenal Islam). Tidak ada keterangan mengenai pengarang dan penyalin naskah ini. Hanya saja tertera tahun penyalinan yaitu tahun Nun. Naskah ini tersimpan di kediaman Habib Syakur di Pesantren Kauman Bantul Yogyakarta. Naskah berasal dari Sumenep dan pemiliknya bernama Abdul Mustaqim.
Secara fisik, naskah terbuat dari kertas Dluwang dengan kondisi baik. Dijilid dengan benang dengan sampul terbuat dari kulit. Tidak terdapat watermark (cap kertas) dan countermark. Jumlah kuras sulit diidentifikasi karena jilidannya menyatu dan kuat. Diperkirakan terdapat 2 kuras. Naskah berjumlah 16 lembar dengan 10 lembar dalam setiap kuras. Pada halaman 1, teksnya tidak terkait dengan teks inti. Dalam halaman ini terdapat teks tentang penjelasan perihal sukses tidaknya seseorang dalam menjalani hidup.

Jumlah halaman 31 halaman dengan rata-rata 19 baris di setiap halaman, kecuali pada halaman 2 dan 3, masing-masing 15 dan 18. Panjang dan lebar halaman naskah 29,3 cm x 19,5 cm. Panjang dan lebar teks 21 cm x 11 cm. Pias kanan 6 cm, pias kiri 1,7 cm. Sedangkan pias atas dan bawah masing-masing 4 cm. Tidak ada penomoran setiap halaman. Tidak terdapat iluminasi dan ilustrasi.

Huruf dan bahasa yang digunakan adalah aksara dan bahasa Arab. Untuk makna yang ditulis dengan menggantung dan di pias kanan dan kiri, digunakan Bahasa Jawa dengan Arab Pegon. Sedangkan jenis khat yang digunakan adalah naskhi. Adapun untuk teks makna/penjelas menggunakan jenis khat riq’i. Warna tinta hitam untuk teks dasar. Warna merah untuk teks yang dianggap penting oleh penyalinnya. Fungsi rubrikasi di sini untuk memperlihatkan masalah penting dan atau mengawali tema.
Pada halaman pertama terdapat tulisan dan coretan-coretan yang tidak terkait langsung dengan teks. Terdapat kolofon yang di dalamnya berisi ucapan penulis memuji kepada Allah, memberi salam untuk Nabi Muhammad SAW. atas selesainya teks tersebut dan doa yang dibaca seorang guru ketika khatam membaca kitab. Tidak ada penjelasan tentang penulis, namun terdapat penjelasan waktu penulisan naskah, yaitu pada hari Jumat, 22 Rabiul Awal, jam 11 siang tahun Nun.

Isi Naskah Secara Umum
Secara ringkas, naskah ini berisi tentang pengertian dan prinsip-prinsip dasar Islam, Iman dan Ihsan. Penjelasan dimulai dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar tentang kehadiran seorang laki-laki (yang ternyata adalah Malaikat) yang kemudian menanyakan perihal Islam, Iman dan Ihsan. Secara substansial naskah ini merupakan syarah dari hadis yang dikutip tersebut. Islam pengertiannya adalah membaca dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, menjalankan puasa ramadlan, menunaikan zakat dan haji di tanah suci. Iman pengertiannya adalah percaya adanya Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir dan qadar baik/buruk Allah. Adapun ihsan adalah menyembah Allah seakan-akan kita melihat kepada-Nya, karena sejatinya Ia melihat kita.

Naskah al-Miftah fi Syarh Ma‘rifah al-Islam berisi pembahasan lengkap mengenai konsep Islam, Iman dan Ihsan yang didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan redaksi yang tidak lengkap. Redaksi hadis diberi rubrikasi merah, sedangkan penjelasannya menggunakan tinta hitam. Aksara dan bahasa menggunakan bahasa Arab, berikut penjelasannya. Kecuali penjelasan yang menggantung, ditulis dengan aksara arab berbahasa Jawa pegon. Bunyi hadis yang tertulis dalam naskah adalah:
ما روي عَنِ عبد الله ابْنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهماُ ، قَالَ عبد الله ابْنِ عُمَر : كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ رسول الله صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ,اذا خضر شخص باحسن بزة واجمل صورة وجلس عند رسول الله صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ متصلا رُكْبَتَهُ برُكْبَتِهِ ، وَوَاضَعَا يَدَيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ ، فقَالَ : يَا مُحَمَّدُ ، مَا الإِسْلاَمُ ؟ فقَالَ رسول الله صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ اليه سبِيلا ». فَقَالَ الرَّجُلُ صَدَقْتَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ ؟ فَقَالَ النبي صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ :« الإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْقَدَرِ كُلِّهِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ». فَقَالَ : صَدَقْتَ. يا محمد ثم قال أَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ النبي صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ :« الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ، فَقَالَ صَدَقْتَ يا محمد ثُمَّ غاب ،قَالَ رسول الله صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ من السائل يا عمر ؟ فقال عمر اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : هذَا جِبْرِيلُ ، أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ الدِينِ.

Sebelum masuk pada pembahasan, naskah diawali dengan hamdalah dan salawat kemudian penyebutan judul naskah, yaitu al-Miftah fi Syarh Ma‘rifah al-Islam (Kunci penjelasan untuk mengetahui Islam). Di setiap kata yang berubrikasi merah, terlebih dahulu pengarang naskah menganalisis kata sesuai gramatikal arab, seperti kedudukan kata dalam bahasa Arab baru kemudian memberi makna pada kata-kata tersebut.

Ketika memasuki pembahasan hadis, secara detail dan konsisten pengarang membuat satu pola penjelasan yang komprehensif. Diawali analisa gramatikal, disusul penjelasan teks serta perdebatan-perdebatan yang terjadi di dalamnya. Sebagai contoh ketika menceritakan kedatangan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam redaksi hadis dikatakan wadi‘an yadaihi ‘ala fakhizih. Terdapat perbedaan penafsiran pada kata ganti orang ketiga pada yadaihi dan fakhizaih yang menimbulkan perbedaan makna. Pendapat pertama dikemukakan oleh pengarang kitab al-Kifayah yang mengatakan kata ganti pada yadaihi kembali kepada Jibril, sedangkan pada fakhizih kembali pada Nabi, sehingga maknanya adalah Jibril meletakkan tangannya di paha Nabi yang berarti Jibril ingin berdekatan dengan Nabi agar dapat mendengarkan sabda Nabi dengan jelas. Pendapat kedua dikemukakan pengarang kitab at-Targib, Ismail bin al-Fudail at-Tamimi yang mengatakan kedua kata ganti di atas kembali kepada Jibril, sehingga maknanya adalah Jibril meletakkan kedua tangannya di atas pahanya sendiri. Hal ini menunjukkan sikap tawadu‘ dan adab seorang murid ketika mendapatkan pelajaran dari guru.

Pengarang juga menjelaskan isi hadis dengan terlebih dahulu menyebut teks hadis, analisis gramatikal dan penjelasannya beserta dalil dari Al-Qur’an maupun hadis.
Dalam menjelaskan unsur-unsur Islam, pengarang terkadang memberi pengertian dari terminologi tertentu, seperti zakat. Tidak jarang juga pengarang melihat tinjauan hukum dan filosofi dari terminologi tersebut. Di beberapa bagian, pengarang menganalisis tinjauan mazhab dalam tema tertentu.

Sebagai contoh, ketika membahas zakat, pengarang menjelaskan definisi zakat dari sisi bahasa dan istilah, hukumnya dan hikmahnya. Ketika membahas puasa Ramadhan, pengarang menjelaskan hukum puasa, orang-orang yang diwajibkan berpuasa dan tidak diwajibkan, hukum orang yang tidak melakukan puasa dengan sengaja maupun tidak sengaja, pengertian puasa dari sisi bahasa dan istilah, serta pembagian jenis-jenis puasa. Tinjauan mazhab dilakukan oleh pengarang ketika membahas pengertian ”mampu” yang menjadi syarat ibadah haji.

Dalam menjelaskan unsur-unsur Iman, pengarang tidak menyinggung dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis. Pengarang mencukupkan penjelasannya pada seputar pengertian, hukum dan keterangan yang berhubungan dengan unsur-unsur tersebut. Seperti ketika menjelaskan Iman kepada Rasul, dijelaskan hukum mengimani dan mengingkari adanya Rasul. Setelah itu pengarang menjelaskan jumlah rasul dan nabi menurut para ulama, serta asal usul beberapa Nabi. Ketika menjelaskan hari akhir, pengarang menyebutkan definisi, hukum mengimaninya dan segala hal yang berhubungan dengan hari akhir.

Dalam menjelaskan unsur-unsur Ihsan, pengarang menyebutkan definisi dari sisi bahasa dan istilah. Penjelasan tentang Ihsan diperkuat dengan hadis-hadis yang berhubungan dengannya.

Makna Islam, Iman dan Ihsan menurut Naskah al-Miftah
Mengutip beberapa pendapat ulama, pengarang al-Miftah memberi definisi tentang Islam. Islam adalah al-istil±m yaitu menyerahkan diri sepenuhnya kepada perintah Allah, tunduk pada perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Definisi ini diperkuat oleh firman Allah dalam Q.S. Luqman (31): 22, “Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan. Dalam sebuah hadis diriwayatkan; “Dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Seorang mukmin adalah saudara dari mukmin yang lain, ia tidak akan menyerahkan saudaranya pada kesusahan atau tanpa pertolongan”.

Sebagian ulama ditanya mengenai Islam. Mereka menjawab Islam adalah 4 perkara; mengagungkan kitab Allah (Al-Qur’an), merasakan manisnya zikir kepada Allah, membenarkan janji dan ancaman Allah serta melaksanakan perintah-Nya.
Sementara beberapa ahli ma’rifat (tasawuf) berpendapat bahwa Islam adalah “memotong” keinginan diri dengan “pedang” perlawanan. Berbeda lagi dengan pandangan beberapa ulama yang menyamakan Islam dan Iman. Mereka beralasan bahwa Allah SWT tidak membedakan kata Islam dan Iman ketika memberi hidayah kepada manusia. Hal ini diperkuat firman Allah dalam Q.S. Ali Imran (3): 20 “Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk”. Begitu pula dalam Q.S. Al-Baqarah (1): 137 “Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk.”
Berdasarkan teks hadis di atas, pengertian Islam adalah membaca dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menjalankan puasa ramadhan dan haji di tanah suci.

Membaca dua kalimat syahadat sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Ali Imran (3): 18 “Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Maha-bijaksana.” Allah bersaksi pada dirinya bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, dengan maksud mengingatkan hamba-Nya untuk bersaksi juga atas keesaan-Nya. Bersaksi dari sisi bahasa adalah melihat dengan nyata. Dari sisi istilah adalah berita yang pasti, dilihat dengan nyata atau mengetahui dengan dalil yang pasti.

Mendirikan shalat wajib atasmu sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Thaha (20): 132 “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya”. Yang dimaksud adalah meyakini kewajiban solat 5 waktu sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. An-Nisa (4): 103 “Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. Hikmah solat 5 waktu dapat menghapus kesalahan, seperti disebutkan dalam shahih Bukhari dan Muslim “Rasulullah SAW bersabda: jika di depan rumah seorang di antara kamu terdapat sungai, dia mandi disitu setiap hari 5 kali, apakah tersisa daki (di tubuhnya)?” Nabi juga bersabda: “Solat adalah tiang agama, barangsiapa yang menegakkannya maka ia telah menegakkan agama. Barang siapa yang meninggalkannya, maka ia telah menghancurkan agama.” Nabi bersabda lagi: “Tidak ada jarak antara seorang hamba dengan kekufuran selain meninggalkan solat”

Menunaikan zakat. Pengarang menjelaskan definisi zakat dari sisi bahasa dan istilah. Dari sisi bahasa, zakat adalah mensucikan diri. Sedangkan dari sisi syara’ atau istilah, zakat adalah membayarkan sejumlah harta tertentu dan hukumnya wajib. Tidak lupa dijelaskan hikmah dari zakat, yaitu menjaga harta, menghiasi amal, menebus dosa, mensucikan hati, mensyukuri nikmat dan menyebarkan kebaikan.

Menjalankan puasa Ramadhan. Pengarang menjelaskan hukum puasa adalah wajib bagi setiap mukallaf, kecuali musafir, wanita haidh dan nifas. Mereka diwajibkan mengganti puasa di hari lain. Jika seseorang meninggalkan puasa karena tidak meyakini kewajibannya, maka ia telah kafir. Jika seseorang meninggalkan puasa tanpa uzur tapi masih meyakini kewajibannya, maka ia harus ditahan tanpa boleh makan, minum atau jimak. Puasa adalah menahan anggota tubuh dari hal-hal yang haram, halal dan syubhat (meragukan). Terdapat tiga jenis puasa yaitu puasa orang awam (‘am) , orang khusus (khas) dan orang lebih khusus (akhas).

Haji di tanah suci. Tinjauan mazhab dilakukan oleh pengarang ketika membahas pengertian ”mampu” yang menjadi syarat ibadah haji. Mazhab Syafi’i mendefinisikan mampu dengan adanya bekal dan kendaraan. Sedangkan mazhab Hanafi mengartikan mampu dengan adanya bekal, kendaraan dan kekuatan. Lain halnya dengan mazhab Maliki yang mengartikan mampu dengan kekuatan saja.

Iman adalah percaya adanya Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir dan qadar baik/buruk Allah.

Percaya kepada Allah artinya meyakini di dalam hati bahwa Allah itu qadim, azali dan abadi. Qadim adalah Allah ada sejak dari dahulu. Azali adalah tidak ada permulaan bagi Allah. Abadi adalah tidak akhir bagi Allah.

Percaya kepada Malaikat Allah artinya meyakini bahwa Malaikat adalah makhluk Allah yang tidak menyekutukan dan tidak pernah membangkang perintah-Nya, walau sesaat pun. Selalu beribadah kepada-Nya. Barangsiapa yang mengatakan Allah tidak mempunyai malaikat, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang berkata malaikat itu ada tapi berjenis perempuan, maka ia telah kafir. Malaikat adalah makhluk spiritual yang tidak makan dan minum.

Percaya kepada Kitab-kitab Allah artinya meyakini bahwa kitab-kitab Allah itu ada. Kitab-kitab Allah itu banyak diantaranya Taurat, Injil, Zabur, al-Furqan dan lain-lain. Barangsiapa yang mengingkari dan melecehkannya maka ia telah kafir. Kita harus menghormati kitab-kitab itu, tapi tidak boleh mengamalkannya kecuali Al-Qur’an karena Al-Qur’an telah menasakh kitab-kitab sebelumnya.

Percaya kepada Rasul-rasul Allah artinya meyakini bahwa para rasul dan nabi adalah hamba-hamba Allah. Meyakini mereka adalah wajib dan mencintainya adalah syarat keimanan. Barangsiapa yang mengingkari sebagian mereka maka ia menjadi kafir. Ulama berkata jumlah Nabi itu 124.000, diantaranya terdapat 313 rasul. Semuanya berasal dari luar Arab kecuali lima Nabi yaitu Muhammad, Ismail, Soleh, Syu’aib dan Hud. Hikmah diutusnya nabi dan rasul adalah agar umat manusia mengetahui Tuhan mereka dan mengetahui perintah dan larangan-Nya. Nabi dan rasul adalah perantara Allah dalam memberi petunjuk umat manusia.

Percaya kepada hari akhir. Hari akhir adalah hari kiamat karena saat itulah akhir dunia. Meyakini hari akhir itu wajib karena Allah akan mematikan semua makhluk kecuali yang dikehendaki Allah hidup seperti ‘arasy, kursi, lau¥ mahfµ§, qalam, surga, neraka dan ruh. Diriwayatkan pula Allah akan memasang satu jembatan di atas neraka jahannam yang panjangnya 3000 tahun naik, 3000 tahun turun, dan 3000 tahun mendatar, lebih tipis dari rambut, lebih tajam dari pedang. Jembatan itu akan dilalui semua makhluk.

Percaya kepada qadar Allah. Mempercayai qadar yang baik dan buruk berasal dari Allah. Qadar adalah takdir yaitu segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah sejak dahulu. Perbuatan dan takdir berjalan seiring. Perbuatan tidak berjalan tanpa takdir, begitupula sebaliknya. Dan ketentuan perbuatan manusia itu sesuai dengan kemauan dan usaha manusia, sehingga mereka diberi pahala dengan kebaikan dan dihukum karena keburukan. Itu semua disebabkan kemauan manusia.

Ihsan adalah menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya. Jika kita tidak mampu itu, sejatinya Ia melihat kita. Unsur pertama ihsan adalah menghadirkan hati, tidak berpaling kepada godaan syetan, tidak terlintas dalam hati ketika shalat maupun puasa, akan dilihat orang lain atau agar dijuluki orang lain sebagai orang soleh, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, tidak melangkah ke hal-hal yang dilarang, karena orang yang melihat Tuhannya maka ia akan merasa takut sehingga ia tidak mampu berbuat apa-apa. Unsur kedua ihsan adalah tidak meremehkan ibadah dan memamerkan amal karena merasa kamu tidak melihat Allah dengan mata kepalamu. Sesungguhnya Allah melihatmu dan apa yang ada di hatimu, ihklas atau riya. Tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang luput dari penglihatan Allah.

Beberapa Catatan tentang Naskah al-Miftah
Menurut pandangan penulis, naskah al-Miftah ini merupakan naskah yang penting untuk didalami lebih lanjut dari beberapa sisi:
1.Dari sisi ilmu hadis, naskah al-Miftah ini memuat satu hadis sentral yaitu hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar mengenai Islam, Iman dan Ihsan. Akan tetapi redaksi hadis tidak ditulis dengan lengkap sehingga maknanya tidak dapat diambil secara komprhensif. Pada redaksi hadis yang lengkap, setelah malaikat Jibril menanyakan perihal Ihsan, Jibril meneruskan dengan pertanyaan seputar hari kiamat dan tanda-tandanya. Agaknya hal ini perlu ditelusuri lebih lanjut, mengapa pengarang tidak mencantumkan redaksi hadis mengenai kiamat itu.
2.Dari sisi bahasa, pengarang tidak lupa menganalisis kata per kata dalam setiap pernyataannya sehingga dapat diketahui kedudukan-kedudukan kata dalam ilmu gramatikalnya serta implikasinya pada perbedaan penafsiran. Seperti terjadi ketika menjelaskan kata ganti pada yadaihi dan fakhizaih. Perlu pembahasan lebih jauh terkait dengan ilmu gramatika arab.
3.Dari sisi hukum, penulis dapat memastikan pengarang bermazhab Syafi’i karena dalam teks naskah terdapat pernyataan pengarang: Ana fi mazhab taj al-muttaqin wa imam al-mu’minin Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘i (Saya berada dalam mazhab mahkota dan imam orang-orang mukmin Muhammad bib Idris Asy-Syafi‘i), akan tetapi pengarang tetap mengakui 3 mazhab lain sebagai mazhab yang benar. Hal ini diperkuat ketika pengarang membahas mengenai syarat “mampu” dalam haji.

PENUTUP
Kesimpulan

Simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut:
1.Kondisi naskah al-Miftah masih dalam keadaan baik. Hal ini dilihat dari kondisi kertas, tulisan, jilidan, dan kuras yang masih dalam kondisi baik. Adapun kandungan naskah al-Miftah adalah penjelasan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang menceritakan kedatangan Malaikat Jibril untuk bertanya kepada Nabi perihal Islam, Iman dan Ihsan. Hadis ini dinilai sahih, karena terdapat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
2.Makna Islam sesuai naskah adalah membaca dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menjalankan puasa ramadhan, dan haji di tanah suci. Iman adalah percaya adanya Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir dan qadar baik dan buruk Allah. Adapun ihsan adalah menyembah Allah seakan-akan kita melihat kepada-Nya. Jika kita tidak mampu itu, maka sejatinya Ia melihat kita.

Saran-saran
1.Penelitian ini masih bersifat deskriptif saja, sehingga perlu ada penelitian lanjutan untuk menyelami kandungan naskah al-Miftah lebih dalam. Naskah ini masih dapat didalami dari berbagai sisi, baik itu hukum, tasawuf, bahasa dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis berharap penelitian ini dapat dielaborasi lebih lanjut agar konsep Islam, Iman dan Ihsan dapat dipahami dengan sempurna.
2.Penelitian ini pastinya masih banyak kekurangan disana sini. Oleh karena, itu saran dan kritik senantiasa sangat diharapkan demi kesempurnaan hasil penelitian ini.



DAFTAR PUSTAKA
1 Purnomo, Heru. 2010. Strategi Preservasi Naskah Kuno. Skripsi, Fakultas Adab & Humaniora. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
2 www.birohukum.pu.go.id/Rumah%20Negeri/UU5-1992.pdf. Tanggal akses 24 Oktober 2011
3 Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam dan Pernaskahan Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. h. 201
4 Wildan, Dadan. 2001. Ceritera Sunan Gunung Jati; Keterjalinan Antara Fiksi dan
Fakta (Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah, Isi dan Analisis Sejarah dalam Naskah-naskah Tradisi Cirebon. Disertasi, Program Pascasarjana. Bandung: Universitas Padjadjaran.
5 Zakiyah. 2009. Naskah Nabi Wafat: Deskripsi dan Kajian Isi. Jurnal Lektur, 7 (2): 187-212
6 Machsun, Toha. 2006. Naskah Sastra Suluk Jawa Pesisiran Dalam Prespektif Budaya. Widyariset, 9(4). 227 - 232

Selasa, Mei 10, 2011

Festival Maulid Nusantara 2011


Hadirilah Festival Maulid Nusantara 14-19 Mei 2011 di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat

Kamis, April 28, 2011

Ensiklopedi Kisah-kisah Menakjubkan 3

Wanita dan Tiga Pria
Disarikan oleh Arif Syibromalizi

Suatu hari seorang wanita keluar dari rumahnya, ia melihat tiga orang laki-laki berjenggot putih sedang duduk-duduk di pelataran rumahnya. Ia sama sekali tidak mengenali mereka satupun, namun dari wajahnya terlihat mereka sedang kelaparan.
“Masuklah dan makanlah di rumahku”, ajak wanita tersebut.
“Apakah suamimu ada?”, Tanya salah seorang dari mereka.
“Tidak ada”, jawab si wanita. “Kami hanya boleh masuk jika suamimu ada”, ujar mereka mengakhiri percakapan.

Sore hari, suami wanita itu pulang ke rumah. Wanita itu menceritakan kejadian tadi. “Suruhlah mereka masuk dan makan”, perintah suami kepada istrinya itu.
Si istripun keluar dan mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Akan tetapi salah satu dari mereka berkata: “Kami tidak bisa masuk bersama-sama”.
“Kenapa tidak?” Tanya si wanita terheran-heran.
“Perkenalkan namaku Kekayaan, dan dia Keberhasilan serta temanku yang itu bernama Cinta. Tanyakanlah kepada suamimu, siapa duluan yang boleh masuk?”, Ujar salah satu dari mereka yang mengaku bernama Kekayaan.

Setelah bermusyawarah, akhirnya si istri keluar dan memanggil Cinta untuk masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Kekayaan dan Keberhasilan ikut masuk ke dalam rumah. Wanita itu heran.
“Aku hanya memanggil Cinta, mengapa kalian berdua ikut masuk?”
“Jika kau memanggil Kekayaan atau Keberhasilan, maka dua orang yang lain tidak bisa masuk. Tapi karena kau memanggil Cinta, maka kami akan mengikutinya kemana saja ia pergi, karena jika disitu ada Cinta maka pasti ada Keberhasilan dan Kekayaan”.

Kawan,
Sebarkanlah kedamaian dan cinta kasih ke seluruh alam ini. Melalui sebuah hadis, Islam mengajarkan: “Sebarkan salam (kedamaian) diantara kalian”. Kedamaian berarti saling mengasihi, karena tujuan Islam diturunkan adalah untuk menjadi rahmat bagi semesta. Singkirkan keserakahan dan kekerasan yang bertentangan dengan Islam yang penuh kasih. Dengan Cinta, sukses pribadi maupun sosial akan tercapai..