Rabu, Juli 16, 2008

Mengakui Kesalahan

"Saya melakukan sebuah kesalahan dengan melakukan hubungan tak sepantasnya dengan Lewinsky. Dalam kenyataannya, itu adalah sebuah kesalahan. Saya telah menyesatkan banyak orang, termasuk istri saya sendiri. Saya sangat menyesal."-- Bill Clinton, mantan Presiden Amerika Serikat
SENGAJA atau tidak, kesalahan telah dilakukannya. Tak ada jalan lain, dia harus mengambil keputusan. Akhir Mei lalu, Menteri Luar Negeri Kanada, Maxime Bernier memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Bernier, entah sengaja atau teledor, telah meninggalkan dokumen rahasia di rumah bekas kekasihnya. Terlalu sulit untuk mencari tahu bagaimana sebuah dokumen rahasia bisa jalan-jalan sampai ke rumah bekas pacarnya. Lagi pula, itu tidaklah penting. Entah apa motifnya, itu juga gelap. Yang jelas, sang bos, Perdana Menteri Kanada Stephen Harper marah besar dengan kesalahan yang dilakukan anak buahnya itu. ”Itu kesalahan amat serius yang dilakukan seorang menteri. Kami harus selalu menerima tanggung jawab atas dokumen rahasia. Menteri langsung mengakui betapa beratnya kesalahan ini."
Di dalam media cetak dan elektronik di sana, berita tentang pengunduran diri Bernier menjadi isu utama. Bernier pun mengakui kesalahan fatal yang dilakukannya. Namun tentu tak semudah itu keputusan tersebut diambil. Keteledoran, apa pun sebabnya, tentu akan membuat banyak perkara dalam hidup seseorang. Dengan keputusan itu, Bernier telah mengambil segala risiko: malu pada keluarga, diledek lawan politik, dan tentu saja karir politiknya, yang sudah jelas dibangun dalam jangka waktu yang tidak sebentar, ambruk seketika.
Harus diakui, mengakui kesalahan bukanlah perkara yang mudah. Coba sekarang benamkan diri kita masing-masing pada peristiwa yang telah berlalu. Semisal ketika seorang teman yang kena damprat orang tuanya gara-gara kelakuan kita. Di masa muda, tentu kita pernah pergi ke pesta ulang tahun kawan. Saat kita yang sedang berpesta, tentu tak ingin kawan-kawan pulang lebih dulu. Akhirnya, kita tahan mereka. Namun, di luar pengetahuan kita, keesokan harinya, kita tahu seseorang dari mereka kena damprat papa dan mamanya karena pulang larut malam. Nah, apakah kita mau mendatangi rumah orang tuanya, lalu menjelaskan semuanya dan mengakui semua kesalahan itu berawal dari keinginan kita karena menahannya pulang. Banyak dampaknya dari pengakuan kita itu. Boleh jadi, kita malah kena damprat pula atau dianggap sebagai biang keladinya.
Dalam pekerjaan sehari-hari pun sebuah kesalahan bisa terjadi. Seorang kawan mengakui bahwa ia lupa untuk mengirimkan proposal pengajuan penawaran balik ke perusahaan rekanan. Karena waktunya terlambat dari dateline yang telah ditentukan, proposal penawaran yang dikirim secara menyusul pun menjadi tidak berarti. Alhasil, proposal pun ditolak. Sang rekan pun dipanggil oleh atasan menanyakan mengapa keterlambatan bisa terjadi. Dengan menyesal sang rekan mengatakan bahwa ia benar-benar lupa untuk melakukan hal itu karena terfokus oleh pekerjaan lain. Apapun alasannya, kesalahan tetaplah sebuah kesalahan. Dengan penuh tanggung jawab, sang rekan pun mengakui kesalahannya dan siap menerima konsekuensi dari perusahaannya.
Apa yang dilakukan sang rekan tersebut sudah benar, bahwa ia tidak lari dari tanggung jawab. Pada saat itulah, sebenarnya kita ditantang untuk mengakui kesalahan, dengan taruhannya: diberi kesempatan sekali lagi untuk tetap bekerja di kantor itu, atau surat pemutusan hubungan kerja yang akan diberikan pihak manajemen.
Sebuah pilihan yang sulit tentu saja. Namun, marilah kita jujur pada nurani kita sendiri. Saat sekali dalam hidup, kita mengakui kesalahan yang kita lakukan, di lain waktu kita akan terjaga untuk tidak mengulanginya. Tentunya karena kita paham, akibat dari kesalahan yang kita lakukan dapat berakibat buruk pada orang lain. Namun, bila kita terbiasa untuk enggan mengakui kesalahan, sudah barang tentu, kesalahan-kesalahan akan kerap terus dilakukan, sambil otak terus berpikir untuk mencari kambing hitam yang bisa menjadi sasaran kesalahan.
Pada akhirnya, pilihan yang kita ambil, menunjukkan jati diri dan kualitas kita yang sebenarnya. (070708)
Sumber: Mengakui Kesalahan oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta