Jumat, Agustus 24, 2007

Mengenal Lebih Jauh فعل كان الناسخة

Oleh: Arif Syibromalizi, Lc.

Sebelum kita mengenal lebih dekat tentang fi'l kana al nasikhah (فعل كان الناسخة), perlu kita ketahui sebelumnya apa pengertian dari al nasikhah (الناسخة) atau al nawasikh (النواسخ). Al nawasikh adalah jama' dari kata nasikh (الناسخ). Secara bahasa berasal dari kata naskh (النسخ) yang berarti menghilangkan (الازالة). Seperti terdapat dalam ungkapan bahasa Arab نسخت الشمس الظل. Dalam istilah ilmu nahwu al nawasikh adalah sesuatu yang menghilangkan/mengangkat hukum mubtada dan khabar. Al Nawasikh sendiri terbagi menjadi 3 macam:
Kata yang merafa'kan mubtada dan menasabkan khabar, yaitu كان وأخواتها.
Kata yang menasabkan mubtada dan merafa'kan khabar, yaitu انٌ وأخواتها
Kata yang menasabkan mubtada dan khabar, yaitu ظنٌ وأخواتها
[1]
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa salah satu kata yang dapat merubah hukum mubtada dan khabar adalah كان وأخواتها yang termasuk kedalan al af'al al nasikhah (الأفعال الناسخة). Fungsi كان وأخواتهاadalah merafa'kan mubtada (selanjutnya disebut اسم كان) dan menasabkan khabar (selanjutnya disebut خبر كان ). كان dalam al nawasikh juga disebut كان الناقصة. Untuk lebih jelasnya tentang كان, dijelaskan sebagai berikut.
Dalam literatur Arab, كانmempunyai 3 kemungkinan fungsi yang berbeda maknanya. Pertama, sebagai كان الناقصة yaitu yang mencakup makna waktu, bukan peristiwa. Seperti dalam contoh : كان زيد طالبا (Dulu Zaid seorang murid). Kedua, sebagai كان التامة yaitu yang mencakup makna waktu dan peristiwa. Seperti dalam contoh: ما لم يشأ لم يكن (Sesuatu yang tidak dikehendaki Allah, tidak akan terjadi). Ketiga, sebagai كان الزائدة yaitu yang tidak mempunyai makna atau yang digugurkan maknanya
[2]. Pada kesempatan ini kita akan membahas كان الزائدة.
Penambahan Kana (زيادة كان)
Sebagaimana telah diketahui bahwa penambahan (الزيادة) dalam bahasa Arab mencakup penambahan ism, fi'il serta harf. Sikap para ahli nahwu terhadap penambahan ini juga secara umum hampir sama, yaitu menggugurkan makna dari kata yang ditambahkan tersebut. Sebut saja al Farra, Abu 'Ubaidah dan al Akhfasy, mereka menganggap الزيادة (penambahan) tidak mempunyai implikasi makna dalam sebuah kalimat. Senada dengan mereka, al Zujaj menyimpulkan bahwa ziyadah adalah اللغو)) sesuatu yang tidak dianggap. اللغو dalam kalimat berarti sesuatu yang tidak bermakna. Dari sini dapat disimpulkan bahwa الزائدة menurut para ahli nahwu di atas adalah sesuatu yang tidak mempunyai makna atau tidak mempengaruhi makna yang terkandung dalam satu ungakapan (kalam).
[3] Termasuk penambahan fi'il (زيادة الأفعال) adalah penambahan fi'il كان.
Seringkali terjadi perbedaan pendapat tentang fungsi كان yang terdapat dalam beberapa ayat Alqur'an. Seperti dalam ayat:
قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا
[4]
Artinya: " Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?"

Abu 'Ubaidah menganggap كان dalam ayat tersebut sebagai كان التامة yang berarti terjadi (حدث), walaupun dia juga berpendapat كان disitu adalah tambahan (الزائدة). Sedangkan al Zujaj menganggap كان disitu sebagai tambahan (الزائدة) dan من dalam ayat tersebut sebagai syarat, sehingga dia mentakdirkan ayat tersebut dengan: من يكون فى المهد صبيا فكيف نكلمه؟. Dengan begitu, al Zujaj juga memfungsikan كان dalam contoh tersebut sebagai كان الناقصة. Tidak berbeda dengan al Zujaj, al Nahhas pun menganggap كان disitu sebagai كان الزائدة.
Contoh lain dalam ayat:
قَالُوا سُبْحَانَكَ مَا كَانَ يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَّخِذَ مِنْ دُونِكَ مِنْ أَوْلِيَاءَ
[5]
Artinya: " Mereka (yang disembah itu) menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagi kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung"

Abu 'Ubaidah juga menegaskan bahwa كان disitu adalah tambahan (الزائدة), dan fungsi كان الزائدة adalah untuk taukid (penguat) dan tidak beramal.
Al Nahhas membolehkan كان sebagai كان الزائدة atau كان الناقصة dalam contoh ayat:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
[6]
Artinya: " Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia"
Jika كان sebagai tambahan maka taqdirnya adalah: أنتم خير أمة . Jika sebagai كان الناقصة, maka makna adalah: كنتم فى اللوح المحفوظ خير أمة
Arti tambahan kana (معنى زيادة كان)
Dari ayat-ayat di atas, maka kita dapatkan beberapa contoh كان yang mempunyai kemungkinan hanya sebagai كان الزائدة (tambahan). Sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. من + كان + اسم مضمر + اسم منصوب (الخبر – الحال)
قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا
2. ما + كان + جار مجرور + مصدر مؤول (اسم كان – فاعل)
وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ
3. ما + كان + فعل + مصدر مؤول
مَا كَانَ يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَّخِذَ مِنْ دُونِكَ مِنْ أَوْلِيَاءَ
4. كان + ضمير رفع + اسم منصوب
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
Jika kita amati secara cermat, maka pada contoh 2 dan 3, tidak terlihat 'amal (fungsi) كان. Sedangkan pada contoh ke 4, terlihat 'amal (fungsi) كان dengan adanya khabar كان yaitu خير. Pada contoh pertama, bisa jadi كان disitu beramal sehingga صبيا menjadi khabarnya. Atau bisa jadi كان tidak beramal, dan صبيا menjadi hal (الحال)
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penentuan كان zaidah atau bukan, tidak bergantung pada apakan ia beramal atau tidaknya. Akan tetapi penentuan zaidahnya adalah jika كان tersebut asli dan menunjukkan waktu lampau, akan tetapi penunjukkan susunan kalimatnya (tarkib) tidak menunjukkan masa lampau. Seperti dalam contoh surat Maryam: قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا berarti Isa AS telah berbicara ketika dia berada di ayunan dan itu adalah mukjizat. Jika كان bermakna lampau, maka arti ayat tersebut adalah Isa tidak lagi seorang bocah ketika dalam ayunan, sehingga perkataannya bukan mukjizat. Untuk mencapai makna tersebut maka taqdir ayatnya adalah:
Jika كان disitu الزائدة : كيف نكلم من هو فى المهد صبيا
Jika كان disitu تامة : كيف نكلم من حدث (ولد)فى المهد صبيا
Jika من disitu شرطية : من يكن فى المهد صبيا فكيف نكلمه؟ sehingga kalimat tersebut bermakna terus menerus (الاستمرار) dan kebiasaan (العادة).
Sedangkan dalam susunan ayat lain, seperti yang disinyalir oleh Abu Ubaidah dan al Nahhas, bermakna terus menerus (الاستمرار) saja dan menjadikan كان sebagai zaidah yang tidak berhubungan dengan waktu lampau. Seperti
[7]وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا. Ayat ini tidak bermakna lampau akan tetapi bermakna terus menerus dan selalu diperbaharui. Ini juga mungkin bisa diaplikasikan pada ayat كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ.
Sedang pada contoh 2 dan 4, menunjukkan kebiasaan (العادة) dan terus menerus (الاستمرار). Hal ini bisa dilihat dari kata nafi keduanya yang menunjukkan larangan yang terus menerus atau kebenaran yang telah tetap. Maka larangan menyakiti Rasulullah dan kewajiban untuk tidak menjadikan selain allah menjadi pelindung adalah hal yang terus menerus.
[8]

[1] Ibnu Hisyam, Syarh Qothr al Nada wa Bal al Shada (Riyadh: Maktabah Riyadh al Haditsah, tt) h.176
[2] M. Ahmad Khudair, 'Alaqat al Zawahir al Nahwiyah bi al Ma'na fi al Qur'an al Karim (Kairo: Maktabah Angelo al Mishriyyah, 2000), cet. I h. 63
[3] M. Ahmad Khudair, Ibid, h. 55-56
[4] Maryam ayat 29
[5] Al Furqan ayat 18
[6] Ali Imran ayat 110
[7] Al nisa ayat 99
[8] M. Ahmad Khudair, op. cit. h.64-65